Jakarta (5/1).* Bangsa Indonesia memiliki tantangan berat dalam menjaga keutuhan wilayahnya, bukan terbatas pada persoalan pertahanan dan keamanan. Tapi juga menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, di tengah keberagaman agama, budaya, dan ras, adalah tantangan bangsa IndonesiaPada era modern terdapat beberapa contoh negara yang bubar karena tak bisa mempertahankan persatuan, kesatuan, dan keberagamannya, seperti Yugoslavia dan Uni Sovyet. Alhamdulillah, bangsa Indonesia memiliki Pancasila yang mampu menyatukan kebhinekaan bangsa Indonesia,” ujar Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso.
Chriswanto berpendapat sejak berdirinya negara Indonesia, para _founding father_ menyadari potensi tersebut, “Terbukti, sejak zaman penjajahan Belanda, perbedaan tersebut dieksploitasi untuk menaklukkan nusantara. Sementara pada era Indonesia modern, tak bisa dipungkiri masih terdapat prilaku intoleransi antarpenganut agama,” kata Chriswanto.
Chriswanto mendukung moderasi beragama yang dikampanyekan Kementerian Agama sejak 2019, “Bahkan jauh sebelumnya, sejak berdirinya Kementerian Agama pada 3 Januari 1946, toleransi menjadi perhatian Menteri Agama yang pertama H. Mohammad Rasjidi,” papar Chriswanto. Toleransi penting dikembangkan agar tak ada mayoritas yang menjadi diktator dan minoritas yang menjadi tiran, pungkasnya.
Demokrasi sebagai pilihan bangsa Indonesia, saat mendirikan negara ini, menurut Chriswanto, agar semua pihak bisa terakomodir, “Demokrasi yang disepakati para pendiri bangsa, agar rakyat dapat merasakan keadilan dan tak ada penindasan satu sama lain,” ujarnya.
Chriswanto mencatat, sejak Pemilu 2014 hingga 2019, bangsa Indonesia terpolarisasi. Bahkan, residu dari pesta demokrasi masih terasa hingga kini. Untuk itu, ia mengajak seluruh elemen masyarakat dan penyelenggara negara memasuki 2021, untuk meningkatkan moderasi beragama, “Sikap moderat bukan berarti orang tersebut tidak kaffah dalam beragama, prilaku toleran adalah prilaku orang-orang saleh yang terdahulu. Justru karena ketakwaannya bisa memelihara kerukunan dalam bangsa yang majemuk,” paparnya.
Ia lalu mengisahkan Sayidina Umar bin Khattab saat menaklukkan Yerusalem, “Sang khalifah membiarkan para pemeluk Nasrani dan Yahudi tetap beribadah dan hak-haknya dijamin selama membayar pajak, sementara mereka yang menjadi muslim diwajibkan membayar zakat,” ujar Chriswanto. Namun, menurutnya sikap luar biasa Umar bin Khattab adalah saat Uskup Yerusalem Sophorinus, mempersilakannya salat di dalam Gereja Makam Kudus.
“Khalifah Umar menolak, dengan alasan bila ia salat di dalam gereja, dalam 100 tahun umat muslim bisa saja merobohkan gereja tersebut dan mengubahnya menjadi masjid,” imbuhnya. Khalifah Umar kemudian salat Dzuhur beberapa ratus meter dari gereja itu, dan benar saja di atas lokasi itu, kini berdiri Masjid Umar bin Khattab.
Menurut Chriswanto, apa yang dilakukan K
halifah Umar bin Khattab adalah bentuk toleransi. Ia tak ingin menzalimi umat Kristiani. Baginya, Gereja Makam Kudus juga harus dilestarikan agar umat Kristiani bisa tetap beribadah. Kisah keteladanan Khalifah Umar itu juga dikenang di dunia Barat, melalui buku _Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk (2003) karya Karen Armstrong_.
halifah Umar bin Khattab adalah bentuk toleransi. Ia tak ingin menzalimi umat Kristiani. Baginya, Gereja Makam Kudus juga harus dilestarikan agar umat Kristiani bisa tetap beribadah. Kisah keteladanan Khalifah Umar itu juga dikenang di dunia Barat, melalui buku _Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk (2003) karya Karen Armstrong_.
Sementara itu menurut Ketua DPW LDII Kalimantan Selatan, Dedi Supriatna, komunikasi sosial antar elemen masyarakat perlu terus dibangun secara sehat dan bertanggung jawab dalam rangka menumbuhkan dan memelihara toleransi sebagai salah satu unsur merawat persatuan dan kesatuan bangsa. "Banyak saluran komunikasi sosial yang tersedia di masyarakat, baik yang bersifat tradisional seperti kerja bakti, gotong royong, PKK, karang taruna, remaja masjid, majelis taklim dan lain-lain, maupun media sosial digital. Di tataran akar rumput, saluran komunikasi sosial tradisional penting dihidup-hidupkan agar silaturahmi senantiasa terjalin sehingga selalu terpelihara sikap saling memahami dan toleransi. Dalam penggunaan media sosial, tanggung jawab pertama adalah menyeleksi konten yang akan diunggah atau dibagi agar selalu ditimbang dari mana sumbernya, seberapa valid kebenarannya, seberapa besar manfaatnya dalam memberikan pencerahan serta seberapa besar kemungkinan dampak negatifnya. Tanggung jawab berikutnya adalah menggunakan media sosial untuk berbagi sumber-sumber literasi yang mencerahkan dan mencerdaskan. Demikian pula halnya dengan dakwah, penegakan _amar ma'ruf nahi munkar_ penting untuk dikemas secara sejuk dengan muatan yang kaya dasar dan mencerahkan," ujarnya.
0 Komentar